Sadadaily.com – Penasehat hukum terdakwa Rahmadi, M. Ronald Siahaan, S.H., M.H., menilai Jaksa Penuntut Umum (JPU) gagal membuktikan dakwaan dalam perkara Nomor 180/Pid.Sus/2025/PN Tjb yang tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Tanjungbalai.
Menurut Ronald, selama proses persidangan berlangsung, jaksa tidak mampu menghadirkan lima alat bukti sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
“Bagaimana mungkin seseorang bisa dihukum jika bukti tidak lengkap dan tidak sah menurut hukum? Jaksa seharusnya membuktikan, bukan berasumsi. Karena hukum pidana berdiri atas dasar bukti, bukan dugaan,” ujar Ronald di Jakarta, Minggu (26/10).
Ia menilai, kegagalan jaksa dalam menghadirkan bukti yang sah menunjukkan lemahnya profesionalisme serta objektivitas penuntutan dalam perkara tersebut.
“Ini bukan hanya persoalan teknis, tetapi persoalan prinsip keadilan,” ujarnya menambahkan.
Ronald menekankan bahwa asas in dubio pro reo, yang berarti dalam hal keraguan hakim harus berpihak kepada terdakwa, seharusnya menjadi dasar majelis hakim dalam memutus perkara itu.
“Jika bukti tidak cukup, maka hakim wajib memutus bebas (vrijspraak). Itu bukan bentuk keberpihakan pada terdakwa, tetapi keberpihakan pada kebenaran,” katanya.
Ia juga mengingatkan ketentuan Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa apabila kesalahan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka pengadilan harus menjatuhkan putusan bebas.
Lebih lanjut, Ronald mengkritik sikap jaksa yang dinilai terlalu memaksakan perkara tanpa dukungan fakta dan bukti kuat.
“Jaksa jangan menjadikan meja hijau sebagai tempat uji coba dugaan. Tugas jaksa adalah menegakkan hukum, bukan menciptakan narasi untuk menjerat seseorang tanpa bukti,” ujarnya.
Desak Hakim Putus Bebas
Dalam kesempatan yang sama, Ronald meminta majelis hakim memutus perkara Rahmadi dengan mempertimbangkan nurani dan keberanian moral.
Menurut dia, Rahmadi merupakan aktivis sosial yang dikenal vokal mengkritisi kebijakan pemerintah daerah, dan justru menjadi korban rekayasa serta kriminalisasi.
"Kasus ini penuh kejanggalan. Dari cara penangkapan, tekanan psikologis, hingga penyiksaan yang dialami Rahmadi. Ia bahkan dituduh memiliki 10 gram sabu dengan bukti yang meragukan. Fakta persidangan justru membuktikan banyak ketidaksesuaian,” ungkap Ronald.
Ia menilai, proses hukum yang dijalankan terhadap kliennya mencerminkan upaya pembungkaman terhadap suara kritis masyarakat.
“Hukum seharusnya melindungi kebenaran, bukan digunakan untuk menakut-nakuti mereka yang berani bersuara. Jika hukum tanpa nurani, maka ia berubah menjadi alat kekuasaan,” ujarnya.
Ronald menutup keterangannya dengan mengingatkan bahwa hakim memiliki tanggung jawab moral untuk menghadirkan keadilan sejati.
“Majelis hakim bukan sekadar pelaksana pasal-pasal, melainkan penjaga nurani bangsa. Putusan bebas terhadap Rahmadi bukan kelemahan, tapi keberanian untuk menegakkan kebenaran di atas tekanan,” pungkasnya. ***

Social Header